[5 Mei] Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden
Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Salah satu
pembicaraan dalam pertemuan tersebut adalah soal pembangunan kereta
cepat Jakarta-Bandung.
Pada konferensi pers singkat di sela
Konferensi Asia Afrika, Rabu (22/4), Jokowi mengatakan bahwa dalam
pertemuan itu dia menagih implementasi kesepakatan pembangunan kereta
cepat yang sebelumnya telah beberapa kali dibahas.
Jokowi
mengatakan bahwa implementasi pembangunan akan dilaksanakan untuk lima
tahun ke depan. "Kita memang kerja terus kesepakatan itu agar bisa
langsung dilaksanakan, baik dengan Tiongkok maupun Jepang," ujar Jokowi.
Sebelumnya,
juga di sela KAA, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno
telah menandatangani MoU kerangka kerja sama untuk melandasi studi
kelayakan secara detail dan struktur finansial proyek pembangunan kereta
cepat (high speed train) dengan Tiongkok.
"Dari opsi funding
Tiongkok akan menyiapkan dananya melalui China Development Bank, tinggal
strukturnya. Mereka juga berharap dapat berinvestasi. Tapi mereka juga
memberikan opsi jika tidak investasi langsung, maka berupa pinjaman
jangka panjang," kata Rini.
Sayangnya, Rini mengatakan belum ada
angka pendanaan yang disepakati kedua belah pihak. Pada kesempatan itu
juga digunakan Rini untuk menekankan kembali permintaan transfer
teknologi oleh Tiongkok ke Indonesia.
Pembangunan kereta cepat
Jakarta-Bandung sempat menarik minat Jepang dan Tiongkok. Namun, pada
Januari lalu Japan Bank for International Cooperations (JIBC) menyatakan
bahwa Jepang sudah tidak tertarik lagi dengan proyek kereta cepat
senilai Rp 100 triliun untuk rute Jakarta - Surabaya.
Franky
Sibarani, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengkalkulasi
nilai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sekitar US$ 6,55 miliar atau
sekitar Rp 84 triliun. Salah satu komitmen investasi yang sudah
dikantongi BKPM berasal dari Tiongkok sebesar US$ 24,9 miliar.
BKPM
mencatat rasio realisasi investasi asal Tiongkok selama periode
2005-2014 hanya 7 persen dari total komitmen US$24,27 miliar atau
sebesar US$1,8 miliar. Angka ini lebih kecil dibandingkan rasio
realisasi Jepang, yang sebesar US$ 16,6 miliar atau 62 persen dari total
komitmen US$ 26,61 miliar.
China sudah selangkah lebih maju dari Jepang
Franky Sibarani menilai,
Jepang dan China punya peluang yang sama dalam proyek ini. Namun, kata
Franky, investor China sudah selangkah lebih maju dari Jepang.
Investor
Tiongkok sudah masuk pada tahap kerjasama. Kerjasama ini dilakukan
antara konsorsium China yang dipimpin oleh China Railway International
Co. Ltd dengan konsorsium Indonesia yang dipimpin oleh PT Wijaya Karya
Tbk (WIKA).
Sementara Jepang yang diwakili oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) baru masuk tahap pengkajian.
"Jepang
baru kajian. China sudah kerjasama untuk dilaksanakan terutama rute
Jakarta-Bandung," kata Franky saat ditemui usai acara pencanangan zona
integritas di BKPM, Jakarta, Selasa (5/5/2015).
Franky
mengatakan, BKPM sudah mengetahui rencana investasi tersebut. Namun
terkait urusan kerjasama dan perkembangan proyeknya berada di bawah
tanggung jawab Kementerian BUMN.
"Itu ada di Kementerian BUMN," ujarnya.
Franky
juga membenarkan adanya komitmen China yang akan memberi pinjaman
hingga US$ 50 miliar. Dana tersebut nantinya dipakai untuk membiayai
proyek pembangkit listrik, infrastruktur hingga kereta cepat.
"Komitmen itu yang ditandatangani oleh Presiden (Joko Widodo/Jokowi) waktu di Beijing," ujarnya.
WIKA: Agustus Kajian Rampung
Usai menggelar rapat kerja dengan Komisi VI
DPR Kamis (23/4/2015) kemarin, Menteri Badan Usaha Milik Negara, (BUMN)
Rini Soemarno mengungkapkan secara lisan bahwa PT Wijaya Karya (Persero)
Tbk bakal menjadi pemimpin proyek tersebut.
Tak heran, Wijaya Karya mendadak sibuk. Perusahaan pelat merah itu kini tengah melakukan kajian atau feasibility study
terkait proyek tersebut. "Targetnya, Agustus nanti kajiannya sudah bisa
diserahkan ke pemerintah, jadi setidaknya tahun depan proyek ini sudah
bisa dieksekusi," ujar Corporate Secretary PT Wijaya Karya Suradi kepada
Kontan, (24/4).
Meski sudah mengawali langkah, Wijaya
Karya baru menerima perintah dari pemerintah secara lisan. Perusahaan
tersebut belum mengantongi instruksi resmi. Karena itu, Wijaya Karya
belum bisa membeberkan detail persis peranan mereka dalam proyek
tersebut.
Ada beberapa alternatif peran yang mungkin diberikan
kepada Wijaya Karya sebagai eksekutor konstruksi, sebagai investor atau
melakoni dua peran itu sekaligus sebagai pengelola proyek. "Yang pasti, leader bukan berarti wajib menyiapkan modal yang paling besar," tandas Suradi.
Apabila
proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tersebut terealisasi, maka proyek
ini akan menjadi proyek gotong-royong dari dua negara.
Ada dua
gerbong konsorsium di dalam proyek itu. Di dalam negeri, Wijaya Karya
akan memimpin empat perusahaan pelat merah lain. Mereka adalah PT Jasa
Marga (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII, PT Industri Kereta
Api Indonesia, dan PT Len Industri.
Sementara China menunjuk
China Railway sebagai pemimpin konsorsium. Anggota konsorsium Negeri
Tirai Bambu ini, antara lain China Railway International, China Railway
Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, dan The Tird Railway
Survey and Design Institute Group Corporation (TSDI), China Academy of
Railway Sciences, CSR Corporation, dan China Railway Signal and
Commucation Corporation.
Sementara, kebutuhan dana untuk
mewujudkan jalur transportasi kilat dari Ibukota ke Kota Kembang
tersebut tak sedikit. Pemerintah China menawarkan diri mendanai proyek
tersebut beserta beberapa proyek lain. Total dana yang bakal dikucurkan
50 juta dollar AS.
China akan menunjuk China Development Bank (CDB) dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) sebagai sumber pendanaan.
sumber: cnnindonesia, detik, kompas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar