[28 Nov] Kenaikan
konsumsi bahan bakar secara berkelanjutan telah berpengaruh terhadap
lonjakan impor minyak. Dampak lanjutannya, neraca transaksi berjalan
memburuk sehingga nilai tukar rupiah makin terjungkal.
Data Bank
Indonesia memaparkan dalam tiga tahun terakhir nilai tukar rupiah terus
memburuk seiring dengan kenaikan impor minyak dan gas. Pada Januari
2010, impor migas masih sekitar US$ 1,6 miliar dan saat itu nilai tukar
rupiah mengacu pada kurs tengah Bank Indonesia masih Rp 8.286 per dolar
AS.
Namun, sejak pertengahan 2011, impor migas
rata-rata sudah melebihi US$ 3 miliar. Tak jarang menyentuh US$ 4 miliar
per bulan. Bahkan, pada Juli 2013, setelah pemerintah menaikkan harga
BBM bersubsidi, impor minyak juga menembus angka US$ 4 miliar karena
konsumsi BBM tetap melonjak.
Lonjakan impor minyak ini menimbulkan defisit neraca perdagangan migas. Tak pelak, pembengkakan defisit transaksi
berjalan tak bisa terhindarkan. Bahkan, defisit transaksi berjalan
sudah terjadi sepanjang 9 kuartal atau 26 bulan. Defisit transaksi tahun
lalu mencapai US$ 24 miliar dan tahun ini diperkirakan di atas US$ 30 miliar.
Beban defisit transaksi berjalan yang kian membengkak menimbulkan sentimen negatif bagi investor sehingga terjadi aliran dana keluar. Aliran modal keluar, serta kebutuhan dolar yang meningkatakibat kenaikan impor BBM membuat nilai tukar rupiah semakin rentan.
Karena itu, tak mengherankan jika nilai tukar rupiah menunjukkan tren yang semakin memburuk selama lebih dari dua tahun terakhir. Pada September lalu, kurs tengah Rupiah menurut data Bank Indonesia sudah mencapai
11.613 per dolar AS. Bahkan, pada akhir November ini, nilai tukar
Rupiah sudah mendekati 12.000 per dolar AS. Rencana the Federal Reserve
menghentikan paket stimulus moneter pada tahun depan turut memperparah
kinerja mata uang Indonesia tersebut.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengakui kenaikan harga BBM telah mengurangi tekanan terhadap
kesinambungan fiskal, namun belum cukup memperkuat postur neraca
transaksi berjalan. Permintaan BBM bersubsidi pun terus meningkat
sejalan dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor.
"Bahkan,
26 persen total impor merupakan impor barang-barang terkait BBM dan
kendaraan bermotor," ujar Gubernur BI di Jakarta, 27 November 2013.
Untuk menekan impor BBM, menurut Agus, ada beberapa inisiatif yang harus ditempuh. Pertama, perluasan penerapan
dan peningkatan besaran pajak progresif kendaraan bermotor. Kedua,
kewajiban memiliki asuransi bagi pengguna kendaraan bermotor. Ketiga,
pengetatan aturan emisi gas buang kendaraan bermotor. Keempat, mendorong pemakaian energi alternatif dan terbarukan.
sumber: katadata
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar